Jumat, 08 April 2011

Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Civitas akademika sebuah perguruan tinggi, dalam kategori tertentu, dapat dipandang sebagai sebuah sub-kultur dengan “tradisi” dan pola “interaksi sosial” antar civitas akademika yang memiliki karakteristik yang khas. Selain kekhasannya sebagai sebuah “masyarakat” akademis, ia pun memiliki kompleksitasnya seperti halnya masyarakat pada umumnya.
Upaya ke arah ini dilakukan melalui pembelajaran terhadap humaniora, ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan. Itulah mengapa, institusi pendidikan dieksplisitkan sebagai center of excellence bagi terwujudnya humanisme yang transendental. Maka, dengan sendirinya, sebuah institusi pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa dibandingkan dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau dibandingkan barak militer. Ini karena, secara eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh serta belajar menerima keberadaan orang lain dengan prinsip tepa selira. Itulah mengapa, pembudayaan akal budi dalam dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani. Dalam dunia pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani. Kita tak dapat mengelak dari cita dan fakta pendidikan. Pada satu sisi, cita pendidikan adalah lahirnya humanisme transendetal. Pada lain sisi, fakta yang bergemuruh di dunia pendidikan justru berjalin dengan brutalitas.

Wujud kongkrit dari tindak kekerasan yang dilakukan para dosen di sebuah perguruan tinggi yang sangat dikenal dikalangan mahasiswa antara lain:
pemerasan pada mahasiswa dengan cara “mewajibkan” untuk membeli diktat atau buku yang ditulis oleh dosen tersebut yang berimplikasi pada besar kecilnya nilai matakuliah matakuliah, atau bahkan lulus dan tidaknya. Fenomena ini merupakan fenomena paling klasik yang dikenal di dunia perguruan tinggi. Sehingga, muncul istilah dosen “diktator” (jual diktat untuk membeli motor?). Berbeda dengan istilah dosen killer, karena biasanya istilah tersebut (dosen killer) diucapkan oleh mahasiswa dalam kesan mendua, selain kesan negatif di sisi lain tersirat kesan yang lebih positif berupa kekaguman atau lebih tepatnya sikap hormat atas sikap tegas dari sang dosen. Lain halnya dengan kesan terhadap dosen “diktator”.
Selain bentuk “kekerasan” tersebut, terdapat bentuk kekerasan lain dalam bentuk “transaksi” nilai matakuliah. Yaitu, nilai matakuliah yang diberikan dosen kepada mahasiswanya didasarkan pada harga nominal tertentu.
Bentuk pemerasan di dunia pendidikan telah pula mengarah pada hal yang berbau seks.

Terdapat paling tidak dua kemungkinan penyebab terjadinya aksi kekerasan dalam bentuk pemerasan yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswanya, pertama disebabkan rendahnya kesejahteraan (kemiskinan terselubung) dan kedua persoalan moralitas.

Kekerasan di Dunia Pendidikan
· 3 April 2007 : Cliff Muntu (19), praja tingkat II Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Jawa Barat tewas. Kematian mahasiswa asal Manada, Sulawesi Utara, itu diduga karena dianiaya oleh seniornya.
· 28 April 2007 : Edo Rinaldo (8), siswa kelas II SD Santa Maria Immaculata di Pondok Bambu, Duren Sawit, jakarta Timur, tewas setelah dikeroyok empat teman sebaya di sekolahnya. Seorang pelakunya adalah siswa kelas IV SD, sedang tiga lainnya adalah teman sekelas dan ketiganya perempuan.
· 15 Mei 2007 : Blasius Adi Saputra (18), siswa kelas I SMA Pangudi Luhur, Jakarta Selatan, melaporkan ke polisi soal kekerasan fisik dan mental yang dialaminya di sekolah. Penganiayaan itu diduga dilakukan oleh seniornya.
· 30 Mei 2007 : Tiga siswa SMP Negeri 8 Kota Tegal, Jawa Tengah, mengaku dianiaya kepala sekolah mereka, Muslich, karena tidak bersedia membukakan pintu gerbang sekolah. Ketiga siswa itu adalah Fajar Nurdiansyah (14), Jamaludin (14), dan Andi Setiawan (14). Akibatnya, fajar dan Jamaludin mengalami trauma sehingga takut berangkat sekolah.
· 21 Agustus 2007 : Franky Edward Damar (16), siswa kelas I SMK Pelayaran Wira Maritim, Surabaya, meninggal saat mengikuti masa orientasi sekolah (MOS). Sebelumnya Franky beberapa kali mengeluh sakit kepala kepada para senior, tetapi hanya diberi obat sakit perut.
· 10 November 2007 : Muhammad Fadhil Harkaputra Sirath (15), siswa kelas X SMA 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan, disiksa seniornya hingga retak tulang tangan sebelah kiri dan luka sundutan rokok di kedua tangan. Fadhil diduga dianiaya anggota geng Gazper yang beranggotakan ratusan siswa SMA 34.
Sumber: Kompas,11 November 2007, hlm. 1


Sudah menjadi kelaziman di dunia pendidikan, bahwa student government dicanangkan sebagai regulasi dan pengorganisasian demi mengarahkan perilaku dan tindakan para siswa. Melalui student government maka kurikulum dan kerangka disiplin siswa diberlakukan serta diimplementasikan. Harapan besar bersamaan dengan adanya student government adalah untuk memberikan garansi agar proses-proses pembelajaran dalam dunia pendidikan berjalan normal sebagaimana mestinya tanpa direcoki oleh vandalisme dan juvenile delequency.Dengan demikian pula demokrasi dan kebebasan sipil menstimuli institusi-institusi pendidikan untuk berperan sebagai titik temu (melting pot) siswa dari berbagai macam latar belakang. Tapi semua ini mencetuskan keuntungan dan kerugian. Keuntungan sebagai melting pot terkait dengan kenyataan bahwa institusi pendidikan berada di garda depan pembelajaran akan toleransi. Kerugian sebagai melting pot justru tampak mencolok pada timbulnya spiral kekerasan dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa.
Prinsip kerja good government diberlakukan justru demi menyimak secara kritis apakah lingkungan eksternal pendidikan memberikan pengaruh positif atau malah menyuguhkan pengaruh negatif terhadap lingkungan internal dunia pendidikan. Kegagalan mengimplementasikan good government inilah sesungguhnya yang menjadi faktor determinan timbulnya kekerasaan dalam sebuah lingkungan pendidikan, yaitu :
1. Kekerasan dalam rumah tangga dan pengaruh media massa yang sarat akan kekerasan.
2. Kekacauan makna akan kompetisi. Tak dapat dibantah fakta dan kenyataan, bahwa sekolah merupakan sebuah lingkungan sosial di mana setiap siswa saling dikompetisikan dengan siswa lain berdasarkan takaran yang tak sepenuhnya bercorak humanistik transendental. Nilai dan prestasi siswa sepenuhnya berpijak pada kompetisi antar-siswa serta mengabaikan kompetisi melawan dirinya sendiri. Inilah sebuah model kompetisi yang tak sepenuhnya menjanjikan lahirnya kebajikan. Mengapa? Secara sistematis, sekolah dan lembaga pendidikan memosisikan setiap siswa sebagai musuh (enemy) bagi siswa lain. Seakan tak disadari, sekolah dan institusi pendidikan mengajari setiap siswa bertarung melawan siswa lain. Dari sini kemudian muncul nilai, ranking atau peringkat. Menjadi yang terbaik dalam dunia pendidikan sama dan sebangun maknanya dengan memusuhi orang lain. Seakan diterima sebagai aksioma, institusi-institusi pendidikan menumbuh-suburkan spirit darwinisme sosial (social darwinism).
3. Tergerusnya pelayanan negara dalam bidang pendidikan yaitu tidak ada visi yang jelas mengenai dunia pendidikan nasiona dan system pendidikan yang terbuka atas control public
4. Adanya unsur balas dendam atas perlakuan senior terdahulu.
JALAN KELUAR
1. Berkaitan erat dengan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial dari mana siswa berasal. Asumsinya adalah, tak ada seorang pun siswa yang tak memiliki lingkungan budaya.
Kekerasan yang kemudian berkembang menjadi watak dalam diri seorang siswa sangat mungkin mengambil titik tolak dari kekerasan dalam lingkungan keluarga dan dari lingkungan budaya di mana siswa berasal.
2. Upaya koreksi terhadap hakikat kompetisi dalam pendidikan. Agar tak menstimuli timbulnya kekerasan, maka kompetisi dalam dunia pendidikan sejatinya memang dilandasakan pada optimisme tentang manusia. Artinya, setiap siswa harus dipersepsi memiliki kapasitas dan kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan. Sang siswa harus berkompetensi melawan kemalasan, kebebalan dan kedunguan yang bersarang dalam dirinya sendiri. Tujuannya, agar setiap kapasitas dan kompetensi yang ada dalam diri siswa dapat diartikulasikan serta menghasilkan resultante positif melalui proses-proses pembelajaran.
3. Pengelolaan pendidikan secara keseluruhan atau pendidikan pada garda nasional. Sudah saatnya negara memosisikan pendidikan sebagai medan pengabdian terhadap masyarakat dan bangsa ini secara keseluruhan.

daftra pustaka :
www.kekerasan-dalam-dunia-pendidikan.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini